Kamis, 03 Januari 2019

Kata Siapa Nabi Muhammad Lahir Tanggal 12 Rabiul Awal?

Pendengar Radio Suara Dakwah yang budiman, Benarkah 12 Rabiul Awwal Hari Kelahiran Nabi Muhammad?

Tanggal 12 Rabiul Awwal di Indonesia adalah hari libur Nasional. Hal itu karena tanggal 12 Rabiul Awwal diperangati sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wasallam-. Uraian di bawah ini mencoba memberikan kajian sederhana tentang perbedaan pendapat para ulama terkait hari lahirnya Rasulullah – Shallallahu alaihi wasallam-. Perbedaan tersebut bisa dimaklumi karena pada masa itu belum ada penanggalan yang detail seperti hari ini.

Ahli sejarah berbeda pendapat tentang waktu persisnya Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam-. Hal ini karena ada sebab yang dapat dipahami terkait kelahiran beliau. Karena ketika beliau lahir, lahirnya sama seperti kelahiran orang-orang lain pada masa itu. Oleh karenanya tidak ada yang bisa menentukan dengan pasti kapan persisnya Nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wasallam– lahir.

Dr Muhammad Thoyyib An-Najjar berkata, “Sebab terjadinya perbedaan (dalam menentukan kelahiran Nabi) adalah tidak ada seorangpun yang mengira bahwa Rasul akan menimbulkan keguncangan (di tanah Arab Jahiliyah), oleh karena itu tidak ada yang peduli terhadap sosok beliau sejak lahirnya. Namun ketika Allah –Subhanahu wa Ta’ala– memerintahkan beliau untuk berdakwah setelah umur beliau 40 tahun, barulah orang-orang mulai mengais-ngais ingatan mereka tentang Nabi ini, mereka memperbincangkan setiap hal tentang kisah hidup beliau dan hal itu terbantu oleh cerita-cerita Nabi tentang dirinya sejak beliau tumbuh, ditambah juga dengan kisah-kisah yang diriwayatkan para sahabat beliau. Sejak saat itu kaum muslimin mulai menghimpun segala apa yang mereka dengar tentang sejarah nabi dan mereka ceritakan dari masa ke masa.” (Al-Qoulul Mubin fi Sirati Sayyidil Mursalin, hal 78)

Untuk mengurutkan kapan persisnya kelahiran Nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wasallam – kita harus memulainya dari hal-hal yang disepakati para ulama. Di antara  hal yang disepakati oleh para ulama tentang kelahiran beliau adalah tahun dan harinya.

Terkait tahun kelahiran beliau ulama sepakat bahwa beliau lahir pada tahun gajah. Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

لا خلاف أنه ولد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجوف مكّة ، وأن مولده كان عامَ الفيل .

Artiya, “Tidak ada perbedaan bahwa beliau – Shallallahu alaihi wasallam – lahir di Mekkah pada tahun gajah.” (Zaadul Ma’ad 1/76)

Muhammad bin Yusuf Ash-Sholihi berkata, “Ibnu Ishaq berkata bahwa (lahirnya Rasul) pada tahun gajah.”

Ibnu Katsir berkata, “Ini (Rasul lahir di tahun gajah) adalah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama.”

Ibrahim bin Munzir Al-Hizami, gurunya Imam Bukhori berkata, “Hal ini (lahirnya Nabi di bulan gajah) adalah hal yang tidak diragukan lagi.”

Bahkan, khalifah bin Khayyath, Ibnul Jazzar, Ibnu Dihyah, Ibnul Jauzi an Ibnul Qayyim mengatakan bahwa hal ini adalah ijma (kesepakatan ulama). (Subulul Huda wa Rasyad fi Sirati khoiril Ibad 1/334-335)

Dr Akram Dhiya Al-Umari berkata, “Dan yang benar bahwa riwayat-riwayat yang berbeda tentang lahirnya nabi, semuanya sanadnya/jalur periwayatannya ma’lul (bermasalah). Seluruh riwayat yang ada, menyatakan bahwa nabi lahir 10 tahun, 23 tahun, 40 tahun pasca tahun gajah. Padahal sebagian besar ulama berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun gajah. Dan hal ini diperkuat dengan kajian kontemporer yang dilakukan oleh peneliti Islam dan para orientalis yang berpendapat bahwa tahun gajah bertepatan dengan tahun 570 atau 571 Masehi. (As-Sirah An-Nabawiyah Ash-Shohihah 1/97)
Adapun hari kelahiran beliau SAW adalah hari senin.pada hari senin beliau dilahirkan, hari itu pula diangkat menjadi Rasul dan pada hari itu juga beliau meninggal.

عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه قال : ( سُئِلَ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ؟ قَالَ : ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ – أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ –

Dari Abu Qotadah Al-Anshori – radhiyallahu anhu-, “Nabi – Shallallahu alaihi wasallam-ditanya tentang berpuasa pada hari senin, beliau menjawab, “Pada hari itu saya dilahirkan, itu hari saya diutus atau diturunkan wahyu kepada saya.” (HR Muslim 1162)

Ibnu Katsir berkata, “Dan sungguh tidak akurat bahkan cendrung salah mereka yang berpendapat bahwa Rasul dilahirkan pada hari Jumat tanggal 17 Rabiul Awal. Pendapat ini dinukil oleh Hafidz Ibnu Dihyah berdasarkan bacaannya terhadap buku “I’lamur Ruwa bi A’lamil Huda” yang ditulis sebagian orang Syiah. Kemudian Ibnu Dihyah mengatakan bahwa riwayat itu (yang menyatakan Nabi lahir hari Jumat) lemah, dan sudah sepantasnya dilemahkan karena bertentangan dengan nash yang jelas.” (Sirah Nabawiyah 1/199)

Sedangkan terkait bulan dan tanggal lahir Nabi Muhammad para ulama berbeda pendapat. Kami menemukan beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut.

    Beliau lahir pada tanggal 2 Rabiul Awal. Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “ada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi lahir pada tanggal 2 Rabiul Awwal, hal ini merupakan pendapat Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Al-Isti’ab dan Al-Waqidi meriwayatkannya dari Abi Ma’syar Najih bin Abdirrahman Al-Madani. (As-Sirah An-Nabawiyah 1/199)
    Pendapat kedua, beliau lahir pada tanggal 8 Rabiul Awal. Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir 8 Rabiul Awal. Hal ini disampaikan oleh Al_humaidi dari Ibnu Hzm. Dan diriwayatkan oleh Imam Malik, Aqil, Yunus bin Yazid dan lain-lain dari Az-Zuhri, Azzauhri meriwayatkan dari Muhhammad bin Jubair bin Muth’im. Dan Ibnu Abdil Barr menukil pendapat ini dari ahli sejarah bahwa mereka menshahihkan riwayat ini. bahkan Al-Hafidz Muhammad bin Musa Al-Khowarizmi yakin kalau ini adalah pendapat yang benar. Hal ini pula yang dirajihkan oleh Al-Hafidz Abul Khottob in Dihyah di dalam kitabnya “At-Tanwir fi Maulidil Basyar An-Nadzir”. (As-Siroh An-Nabawiyah 1/199)
    Pendapat lain mengatakan pada tanggal 10 Rabiul Awal. Ibnu Katsir berkata, “Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau lahir pada tanggal 10 Rabiul Awwal. Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Dihyah di dalam bukunya. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Abu Ja’far Al-Baqir, Mujalid juga meriwayatkannya dari Asy-Sya’bi. (As-Sirah An-Nabawiyah 1/199)
    Pendapat lain adalah 12 Rabiul Awwal. Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi lahir pada 12 Rabiul Awwal. Hal ini disebutkan oleh Ibnu shaq, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushonnafnya dari Affan, meriwayatkan dari Said bin Maina’ dari Jabir dan Ibnu Abbas. Keduanya berkata, “Rasulullah SAW dilahirkan pada tahun gajah, hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal. Pada hari itu pula beliau diutus, hari itu pula beliau diangkat ke langit (mi’raj), pada bulan itu pula beliau hijrah dan meninggal. Ini pendapat yang masyhur dari Jumhur.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa beliau lahir di bulan Ramadhan, ada yang mengatakan di bulan Shofar dan pendapat-pendapat lainnya.

Dan pendapat yang paling kuat bagi kami adalah pendapat yang menyatakan bahwa kelahiran Rasulullah SAW berkisar antara 8 hingga 12 Rabiul Awwal. Sebagian penetiliti dan ahli falak dari kaum muslimin menyatakan bahwa hari senin yang menjadi hari lahirnya Nabi bertepatan dengan tanggal 9 Rabiul Awwal. Bisa saja ini menjadi pendapat lain dan pendapat ini cukup kuat dan bertepatan dengan 20 April 571 Masehi. Pendapat ini dirajihkan oleh para penulis siroh kontemporer seperti Ustadz Muhammad Al-Khudori dan Shofiyurrohman Al-Mubarokfuri.

Abul Qosim As-Suhaili berkata, “Ahli hisab berkata, ‘Kelahiran Nabi bertepatan dengan bulan April tanggal 20. (Ar-Raodhul Anuf 1/282)

Ustadz Muhammad Al-Khudhoiri berkata, “Mahmud Basya, Ahli Falak Mesir yang menguasai ilmu falak, geografi, matematika yang memiliki banyak tulisan dan jurnal, meninggal tahun 1885 Masehi, Bahwasanya, kelahiran beliau di pagi hari Senin 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan 20 April 571 Masehi. Dan itu bertepatan dengan tahun pertama dari kejadian raja Abrahah, kelahiran beliau di rumah Abu Thalib lembahnya Bani Hasyim.” (Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin 9, Ar-Rahiqul Makhtum, Hal 41)

Demikianlah kajian ringkas tentang perbedaan ulama dalam menentukan kelahiran nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wasallam-. Wallahu a’lam bisoowab

Penulis: Miftahul Ihsan

Sumber: Islamqa.info

Rabu, 04 Oktober 2017

Inilah Wanita Yang Memandikan Jenazah Putri Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam

UMMU Athiyyah Al-Anshariyah. Bak taburan mutiara, riwayat-riwayat hadits menghiasi kehidupannya. Barangkali, seseorang yang membuka halaman demi halaman kitab-kitab hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menemukan nama seorang wanita yang mulia, Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah.

Namanya Nusaibah bintu Al-Harits. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu ‘Athiyyah. Dia salah seorang wanita Anshar yang masuk Islam dan berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama kaum muslimin menghadapi kaum musyrikin, Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha turut pula terjun dalam medan pertempuran. Tujuh peperangan dia ikuti bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Perang Khaibar. Dalam peperangan, dia membuat makanan bagi pasukan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.

Dia pula yang memandikan jenazah Zainab, putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu ‘Athiyyah menceritakan kejadian waktu itu, “Salah seorang putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Beliau pun menyuruh kami untuk memandikannya.

“Mandikanlah dia dengan basuhan ganjil, tiga, lima, atau lebih dari itu kalau kalian pandang perlu. Mandikan jenazahnya dengan air dicampur daun bidara, dan basuhan yang terakhir dicampur dengan sedikit kapur barus. Kalau sudah selesai, beritahu aku,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika kami selesai memandikan, kami memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau memberikan sarungnya pada kami. “Pakaikanlah sarung ini padanya,” kata beliau. Setelah itu, kami menjalin rambut Zainab menjadi tiga jalinan, di sisi kanan dan kiri serta di ubun-ubunnya. Lalu kami letakkan jalinan rambut itu di belakang punggungnya.”

Kisah ini memberikan pelajaran besar bagi kaum muslimin tentang tata cara memandikan jenazah. Banyak sahabat dan ulama tabi’in yang mengambil faedah dari kisah ini.

Ummu ‘Athiyyah pula yang meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau memerintahkan agar para wanita yang sedang haid turut keluar pada hari raya menuju lapangan tempat ditunaikannya shalat ‘Id bersama seluruh kaum muslimin. Juga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita sering mengikuti jenazah. Namanya pun tercantum dalam kitab-kitab hadits.

Tak hanya ini ilmu yang diambil oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha. Bahkan selain mengambil ilmu langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu ‘Athiyyah meriwayatkan pula dari ‘Umar ibnul Khaththab. Ilmunya pun diwarisi oleh orang-orang setelahnya, di antaranya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Muhammad bin Sirin, Hafshah bintu Sirin, dan masih banyak lagi.

Kehidupan Ummu ‘Athiyyah bertabur ilmu dari cahaya nubuwwah. Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya.Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Referensi :
– Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/437-438)
– Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/422-423)
– Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/318)
– Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/315-316).
– Dinukil dari http://www.asysyariah.com, penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran.

Minggu, 13 Agustus 2017

Najiskah Kotoran Cicak yang Mengenai Pakaian?

CICAK seringkali membuat kita merasa terganggu dan jijik. Mengganggu dengan suaranya saat bunyi di tengah malam, atau jijik ketika banyak kotoran cicak bertebaran dimana-mana. Nah, mengenai kotorannya apakah tergolong najis atau tidak. Simak ulasan berikut.

Pertama, ulama menegaskan bahwa binatang yang tidak memiliki darah merah, seperti serangga, dan sebangsanya, bangkainya tidak najis. Demikian pula kotorannnya.

Ibnu Qudamah –ulama Madzhab Hanbali– mengatakan:
مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ

“Binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, dia suci, sekaligus semua bagian tubuhnya, dan yang keluar dari tubuhnya.” (al-Mughni, 3:252)

Hal yang sama juga disampaikan ar-Ramli –ulama Madzhab Syafii– dalam an-Nihayah:

ويستثنى من النجس ميته لا دم لها سائل عن موضع جرحها، إما بأن لا يكون لها دم أصلاً، أو لها دم لا يجري

“Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir.” (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)

Kedua, Ulama juga berbeda pendapat apakah cicak termasuk binatang yang darahnya mengalir atau tidak.

Mayoritas ulama mengatakan, cicak termasuk binatang yang tidak memiliki darah mengalir. An-Nawawi mengatakan:

وأما الوزغ فقطع الجمهور بأنه لا نفس له سائلة

“Untuk cicak, mayoritas ulama menegaskan, dia termasuk binatang yang tidak memiliki darah merah yang mengalir.” (al-Majmu’, 1:129)

Hal yang sama juga ditegaskan Ar-Ramli:

Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir. Seperti cicak, tawon, kumbang, atau lalat. Semuanya tidak najis bangkainya. (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)

Sementara ulama lainnya mengelompokkan cicak sebagai binatang yang memiliki darah merah mengalir, sebagaimana ular.

An-Nawawi menukil keterangan al-Mawardi:

وَنَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ كَالْحَيَّةِ وَقَطَعَ الشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ بِأَنَّ لَهُ نَفْسًا سَائِلَةً

Dinukil oleh al-Mawardi, mengenai cicak ada dua pendapat ulama syafiiyah, (ada yang mengatakan) sebagaimana ular. Sementara Syaikh Nasr al-Maqdisi menegaskan bahwa cicak termasuk hewan yang memiliki darah merah mengalir. (al-Majmu’, 1:129)

Dari Madzhab Hanbali, al-Mardawi mengatakan:

والصحيح من المذهب: أن الوزغ لها نفس سائلة. نص عليه كالحية

“Pendapat yang benar dalam Madzhab Hanbali bahwa cicak memliki darah merah yang mengalir. Hal ini telah ditegaskan, sebagaimana ular.” (al-Inshaf, 2:28)

Ketiga, sebagian ulama memberikan kaidah, binatang yang memiliki darah merah mengalir dan dia tidak halal dimakan maka kotorannya najis.

Jika Anda menguatkan pendapat bahwa cicak termasuk binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, maka bangkai dan kotoran cicak tidak najis. Sebaliknya, jika Anda berkeyakinan bahwa cicak memiliki darah merah mengalir, maka kotorannya najis. Meskipun banyak ulama berpendapat bahwa najis sangat sedikit, yang menempel di badan, dari binatang yang sulit untuk dihindari, termasuk najis yang ma’fu (boleh tidak dicuci).

Namun, menurut Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, jika ada yang mau hati-hati dengan tetap menghindari dan memebersihkan kotoran tersebut pada baju dan tempat shalatnya, itu lebih baik. Wallahu a’lam.[]

Referensi:

Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 101783
Artikel www.konsultasisyariah.com